Social Items

DEFFERENSIASI SOSIAL

 

Disusun Guna Memenuhi Paper
Mata Kuliah Patologi dan Rehabilitasi Sosial 
Dosen Pengampu RR. Dwi Astusi S.Psi, M.Psi

Disusun oleh :
Fina Ulya H. (201860027)
Loeby Galih W. (201860029)
Sri Endah L. (201860030)
Nuzulul Rizkia A. (201860043)
Lilik Rosyidah (201860052)
Nana Nurjannah (201860054)
Nabila Aulia F. (201860056)
Milkhatul Laila (201860062)

FAKULTAS PSIKOLOGI 
UNIVERSITAS MURIA KUDUS 
2019
PEMBAHASAN


Pengetian Diferemsiasi Sosial 
Diferensiasi sosial merupakan pembedaan anggota masyarakat secara horizontal, artinya pembedaan ini masih memiliki derajat atau tingkatan yang sama. Sebagai contoh, pembedaan masyarakat yang didasarkan pada perbedaan ras, etnis suku bangsa, agama, pekerjaan, dan jenis kelamin tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah antara satu dengan lainnya. 
Menurut Soerjono Soekanto, hal ini merupakan bentuk dari variasi pekerjaan, prestise, dan kekuasaan kelompok dalam masyarakat. Artinya, diferensiasi itu bisa menunjukkan keragaman yang dimiliki suatu bangsa. Contohnya saja di Indonesia, ada banyak keragaman yang sangat banyak dan bisa menjadi potensi dalam pembangunan baik dari suku, adat-istiadat, bahasa, budaya, agama, dan lain sebagainya. Sampai sini kita ketahui bahwa konsep ini lebih diartikan sebagai keberagaman yang bersifat horizontal, bukan sebagai pembeda kelas yang bersifat vertikal.
Proses Diferensiasi Dan Sosialisasi
Perilaku menyimpang merupakan hasil dari proses sosialisasi yang tidak sempurna. Dalam materi terdalulu, diselutkan bahwa nilai dan norma adalah suatu pedoman untuk mengatur perilaku manusia. Dalam internalisasi nilai dan norma ini, terjadi proses sosialisasi dalam diri seseorang. Ada seseorang yang mampu melakukan proses sosialisasi dengan baik dan ada pula yang tidak dapat melakukan proses sosialisasi dengan baik. Dengan demikian, pembentukan perilaku menyimpang merupakan suatu proses yang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang berikut.
Sebab Terjadinya Perilaku Menyimpang dari Sudut Pandang Sosiologi
Kehidupan bersama di dalam suatu kelompok masyarakat melahirkan kebudayaan yang berisi berbagai tujuan dan cara bersama yang diperkenankan untuk mencapai tujuan tersebut. Sebagai akibat proses sosialisasi, setiap individu belajar mengenali berbagai tujuan kebudayaannya. Selain itu, mereka juga mempelajari berbagai cara untuk mencapai tujuan yang selaras dengan kebudayaannya. Jika kesempatan untuk mencapai tujuan tersebut tidak tercapai, maka setiap individu mencari cara lain yang terkadang menimbulkan penyimpangan. Kemungkinan perilaku menyimpang pun semakin besar apabila tiap individu diberi kesempatan untuk memilih caranya sendiri. Bcrikut ini adalah pcnycbab dari perilaku menyimpang dalam sosiologi.
Perilaku Menyimpang karena Sosialisasi
Teori ini didasarkan pada pandangan bahwa dalam kehidupan masyarakat terdapat norma inti dan nilai-nilai tertentu yang disepakati oleh seluruh anggotanya. Teori ini menekankan bahwa perilaku sosial, baik yang bersifat menyimpang maupun tidak, dikendalikan oleh berbagai norma dan nilai yang dihayati nya. Perilaku menyimpang disebabkan oleh adanya gangguan pada proses penghayatan dan pengamalan nilai-nilai tersebut dalam perilaku seseorang. Pada umumnya, seseorang hanya menghayati berbagai nilai dan norma dari beberapa orang yang memiliki kesamaan dengan dirinya. Akibatnya, jika ia banyak menghayati nilai atau norma yang tidak berlaku secara umum, maka kecenderungan berperilaku menyimpang akan semakin besar. Terlebih jika sebagian besar teman di sekelilingnya merupakan orang yang memiliki perilaku menyimpang pula. Perilaku seseorang dapat menyimpang jika kadar penyimpangannya Iebih besar daripada kadar kewajaran perilakunya yang atau bersifat umum dan diterima masyarakat. Contohnya, jika seorang siswa bergaul dengan orang-orang yang berperilaku menyimpang seperti pecandu narkoba, maka perlahan lahan ia dapat mempelajari nilai dan norma tersebut, kemudian diserap dan dihayati dalam kepribadiannya yang dapat berakhir dengan perbuatan yang sama.
Perilaku Menyimpang karena Anomi (Anomic)
Menurut Durkheim (1897), sebagaimana dikutip Kun Maryati, anomi adalah suatu situasi tanpa norma dan tanpa arah sehingga tidak tercipta keselarasan antara kenyataan yang diharapkan dengan kenyataan sosial yang ada. Teori ini menyatakan bahwa penyimpangan dapat terjadi apabila dalam suatu masyarakat terdapat sejumlah kebudayaan khusus (etnis, agama, kebangsaan, kedaerahan, dan kelas sosial) yang dapat mengurangi kemungkinan timbulnya kesepakatan nilai (valkte cansensas). Dengan kata lain, anomi menggambarkan sebuah masyarakat yang memiliki banyak norma dan nilai, tetapi di antara norma dan nilai tersebut saling bertentangan. Akibatnya, timbul keadaan di mana tidak adanya seperangkat nilai atau norma yang dapat dipatuhi secara konsisten dan diterima secara luas. Masyarakat dengan tipe seperti itu tidak memiliki landasan yang kuat untuk dijadikan pedoman nilai dan penentu arah perilaku masyarakat.
Rohert K. Merton? menganggap hahwa anomi disebahkan oleh adanya ketidakharmonisan antara tujuan budaya dengan cara-cara yang dipakai untuk mencapai tujuan tersebut. Perilaku menyimpang dapat meluas, apabila banyak orang yang semula menempuh cara-cara pencapaian tujuan dengan wajar kemudian beralih pada cara-cara yang menyimpang. Teori ini sangat tepat untuk menganalisis banyaknya perilaku menyimpang, seperti KKN (karupsi, kolusi, dan nepotisme) yang dinyatakan sudah menjadi budaya di Indonesia. Untuk hal itu, terdapat lima cara pencapaian tujuan, mulai dari cara yang wajar hingga menyimpang sebagai berikut.
Konformitas, yaitu sikap menerima suatu tujuan budaya yang konvensional dengan cara yang selama ini biasa dilakukan (tradisional).
Inovasi, yaitu sikap seseorang untuk menerima secara kritis cara-cara pencapaian tujuan yang sesuai dengan nilai-nilai budaya sambil menempuh cara baru yang belum biasa dilakukan. Dalam inovasi upaya pencapaian tujuan tidak dilakukan dengan cara konvensional dan dilarang. Contohnya, seorang guru mengajar dengan cara yang membuat keributan kelas. Meskipun pada awalnya dianggap mengganggu, namun cara tersebut berhasil dalam meningkatkan semangat belajar siswa.
Ritualisme, yaitu sikap seseorang yang masih menjalankan cara-cara konvensional, namun melupakan tujuan kebudayaan yang sebenarnya. Cara-cara tersebut tetap dilakukan, tetapi fungsi dan maknanya telah hilang dan orang yang melakukannya sekadar memenuhi kewajiban. Contohnya, banyak siswa yang tertib mengikuti upacara bendera hanya sekadar untuk mengikuti peraturan sekolah dan bukan untuk semangat nasionalisme.
Pengasingan, yaitu sikap menolak seseorang, baik tujuan maupun cara-cara mencapai tujuan, yang telah menjadi bagian kehidupan masyarakat ataupun lingkungan sosialnya. Contohnya, seorang karyawan mengundurkan diri dari perusahaan karena konflik kepentingan pribadi atau kepentingan perusahaan.
Pemberontakan, yaitu sikap seseorang dalam menolak sarana dan tujuan-tujuan yang disahkan oleh budaya masyarakatrya dan menggantinya dengan cara yang baru. Contohnya, kaum revolusioner yang dengan gigih memperjuangkan suatu ideologi melalui perlawanan bersenjata.
Perilaku Menyimpang karena Hubungan Diferensiasi
Penyimpangan dapat terjadi jika dipelajari terlebih dahulu. Proses belajar ini terjadi akibat interaksi sosial antara seseorang dengan orang lain. Derajat interaksi bergantung pada frekuensi, prioritas, dan intensitasnya. Semakin tinggi derajat ketiga faktor ini, maka semakin tinggi pula kemungkinan bagi mereka untuk menerapkan tingkah laku yang sama-sama dianggap menyimpang. Contahnya, seseorang yang ingin berprofesi sebagai perampok karena terdesak kebutuhan hidup dan ingin cepat kaya dengan cara yang singkat, kemudian ia berusaha mempelajari cara-cara merampok dari temannya yang terlebih dahulu menjadi perampok. Setelah mengetahui cara caranya, ia akan menjadi perampok mengikuti temannya tersebut.
Perilaku Menyimpang karena Pemberian Julukan (Labelling)
Perilaku menyimpang lahir karena adanya cap, julukan, atau sebutan atas suatu perbuatan yang disebut menyimpang. Dengan memberikan julukan pada suatu perilaku sebagai perilaku menyimpang, berarti kita menciptakan serangkaian perilaku yang cenderung mendorong orang untuk melakukan penyimpangan. Jadi, ketika kita memberi cap terhadap seseorang sebagai orang yang menyimpang, julukan tersebut akan mendorong orang tersebut berperilaku menyimpang.
Teori ini menggambarkan bagaimana suatu perilaku menyimpang sering kali menimbulkan serangkaian peristiwa yang justru mempertegas dan meningkatkan tindakan penyimpangan. Pada kenyataannya, dalam keadaan tertentu pemberian julukan dapat mendorong timbulnya penyimpangan yang berikutnya. Dalam keadaan tertentu lainnya, pemberian julukan akan mendorang kembalinya orang yang menyimpang ke perilaku yang normal. Contohnya, seorang siswa yang tertangkap basah menyontek ketika ujian nasional (UN), kemudian semua siswa di kelas itu memberi julukan pada dirinya "si tukang nyontek", meskipun ia baru sekali melakukan perbuatan itu. Karena telah diberi julukan seperti itu, maka siswa tersebut terus-menerus karena sebagian besar siswa sudah berpandangan negatif terhadap dirinya.
Sebab Terjadinya Perilaku Menyimpang dari Sudut Pandang Biologi
Mayoritas ilmuwan abad ke-19 berpandangan bahwa sebagian besar perilaku menyimpang disebabkan oleh faktor-faktor biologis, seperti tipe sel-sel tubuh. Salah satunya adalah pandangan dari seorang ahli bernama Caesare Lombroso. Ia berpendapat bahwa orang jahat dicirikan dengan ukuran rahang dan tulang-tulang pipi yang panjang, adanya kehinan pada mata yang khas, jari-jari kaki dan tangan vang relatif besar, serta susunan gigi yang tidak normal. Adanya pandangan dari sudut biologi ini telah menimbulkan keraguan dari para ahli ilmu sosial. Meskipun ditunjang oleh berbagai bukti empiris, para kritikus menemukan sejumlah kesalahan metode penelitian sehingga menimbulkan keraguan terhadap kebenaran teori tersebut. Para ilmuwan lainnya menganggap faktor hialogis sebagai faktor yang secara relatif tidak penting pengaruhnya terhadap penyimpangan perilaku.
Sebab Terjadinya Perilaku Menyimpang dari Sudut Pandang Psikologi
Teori ini berpandangan bahwa penyakit mental dan gangguan kepribadian berkaitan erat dengan beberapa bentuk perilaku menyimpang karena perikaku menyimpang sering kali dianggap sebagai suatu gejala penyakit mental. Akan tetapi, teori psikologis tidak dapat memberikan banyak bantuan untuk menjelaskan penyebab perilaku menyimpang. Ilmuwan yang terkenal di bidang ini ialah Sigmund Freud. Dia membagi diri manusia menjadi tiga bagian penting berikut.
Id, yaitu bagian ciri yang bersifat tidak sadar, naluriah, dan impulsif (mudah terpengaruh oleh gerak hati).
Ego, yaitu bagian diri yang bersifat sadar dan rasional (penjaga pintu kepribadian).
Super Ego, yaitu bagian diri yang telah menyerap nilai-nilai kultural dan berfungsi sebagai suara hati.
Menurut Freud, perilaku menyimpang terjadi apabila Id yang berlebilian (tidak terkontrol) muncul bersamaan dengan Superego yang tidak aktif. Sementara dalam waktu yang bersamaan, Ego yang seharusnya dominan tidak berhasil memberikan perimbangan.
Sebab Terjadinya Perilaku Menyimpang dari Sudut Pandang Kriminologi
Dalam hal ini perilaku menyimpang dapat dilihat dari teori konflik dan teori pengendalian. Dalam teori ini terdapat dua macam konflik sebagai berikut.
Konflik budaya, konflik budaya terjadi apabila dalam suatu masyarakat terdapat sejumlah kebudayaan khusus yang masing-masing cenderung tertutup sehingga mengurangi kemungkinan timbulnya kesepakatan nilai. Setiap kelompok menjadikan norma budayanya sebagai peraturan resmi. Akibatnya, orang yang menganut budaya berbeda dianggap sebagai penyimpang, Berbagai norma yang saling bertentangan dan bersumber dari kebudayaan khusus yang berbeda itu akan menciptakan kondisi anomi. Pada masyarakat seperti ini, kelas bawah harus bertentangan (berkonflik) dengan kelas menengah, hanya karena mereka dipaksa untuk meninggalkan kebudayaan yang telah mereka anut sebelumnya.
Konflik kelas sosial terjadi akibat suatu kelompok menciptakan peraturan sendiri untuk melindungi kepentingannya. Pada kondisi ini terjadi eksploitasi kelas atas terhadap kelas bawah. Mereka yang menentang hak-hak istimewa kelas atas dianggap mempunyai perilaku menyimpang sehingga dicap sebagai penjahat. 
Dilihat dari teori pengendalian, kebanyakan orang menyesuai kan diri dengan nilai dominan karena adanya pengendalian dari dalam ataupun dari luar. Pengendalian dari dalam berupa norma yang dihayati dan nilai yang dipelajari sesecrang. Sedangkan pengendalian dari luar berupa imbalan sosial terhadap konformitas (tindakan mengikuti warna), dan sanksi hukuman terhadap tindakan penyimpangan. Dalam masyarakat konvensional, terdapat empat hal yang mengikat individu terhadap norma masyarakatnya, yaitu 
Kepercayaan, mengacu pada norma yang dihayati
Ketanggapan, yakni sikap tanggap seseorang terhacap pendapat orang lain, berupa sejauh mana kepekaan seseorang terhadap kadar penerimaan orang konformis
Keterikatan (komitmen), berhubungan dengan berapa banyak imbalan yang diterima seseorang atas perilakunya yang konformis
keterlibatan, mengacu pada kegiatan seseorang dalam berbagai lembaga masyarakat, seperti majelis ta'lim, sekolah, dan organisasi setempat.
Semakin tınggi tingkat kesadaran seseorang akan salah satu pengikat tersebut, semakin kecil pula kemungkinan baginya untuk melakukan penyimpangan.
Perilaku dan Subkebudayaan Menyimpang
Pergaulan seseorang yang sedang tumbuh dewasa, pada umumnya tidak terlepas dari peniruan (imitasi) terhadap orang lain yang diidolakannya. Akan tetapi, peniruan tersebut kadang bersifat negatif. Hal yang ditiru adalah budaya Barat, seperti dari Eropa atau Amerika yang dianggapnya mewakili dunia modern. Hal ini disebut Westernisasi. Berperilaku seperti akan membuat dirinya merasa modern. Padahal tidak demikian, karena yang ditiru sebagian besar bukan ilmu pengetahuan atau keterampilannya, melainkan pola, sikap, perilaku, kebiasaan, dan lain-lain yang biasa dilibat dari televisi, film, atau gaya kelompok pemain musik yang menjadi panutannya.
Westernisasi, yang di dalamnya terdapat kata west yang berarti barat, bukan berarti mengambil kebudayaan dari Barat berupa ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa berperilaku seperti orang Barat, melainkan berperilaku dan bertindak seperti orang Barat yang dianggapnya modern dengan melupakan budaya sendiri. Westernisasi berarti peniruan seperti orang Barat, misalnya: 
Meniru secara berlebihan gaya pakaian (mode) yang selalu mengalami perubahan dengan cepat
Meniru gaya bicara dan adat sopan santun pergaulan Barat
Sikap merendahkan bahasa daerah dan bahasa Indonesia dengan mencampuradukkan istilah dan ungkapan orang Barat ke dalam balasa Indanesia, walaupun lawan yang diajak bicara tidak memahaminya
Meniru pesta-pesta yang dilakukan orang Barat, seperti pesta ulang tahun atau malam tahun baru yang disertai dengan minum-minuman keras
Tidak melewatkan pergi ke disko untuk setiap saat di malam minggu atau malam liburan
Uraian tersebut memberikan penjelasan pada kita bahwa struktur kepribadian itu bisa diterobos oleh perangsang sosial (pengaruh sosial) yang sangat kuat sehingga berlangsung proses perubahan diri yang dipercepat. Tidak jarang perubahan secara drastis dan radikal itu disertai dengan krisis-krisis jiwa yang akut. Krisis jiwa atau trauma psikis itu mempercepat proses tranformasi tingkah laku normal menjadi perilaku deviasi atau perilaku penyimpangan. 
Penyerapan pola-pola abnormal secara tidak sadar itu menyebabkan proses persepsi diri dan pendefinisian diri. Persepsi diri berarti menerima keadaan atau nasib sendiri. Pendefinisian diri berarti memastikan diri untuk melakukan peranan tertentu, yang erat kaitannya dengan persepsi diri (penerimaan diri), dan segera diikuti dengan praktik-praktik langsung. Inilah yang disebut dengan proses individuasi. Selanjutnya, pendefinisian diri tcrsebut merupakan titik kritis kualitas kepribadian. Inilah yang disebut sebagai limitasi subjektif. Sementara itu, pengaruh pengaruh eksternal dari lingkungan sosial disebut sebagai faktor limitasi eksternal.

Kasus
Rusuh di Papua Barat karena Rasisme, 
Bukan yang Lain


Massa melakukan aksi di Jayapura, Senin (19/8/2019).ANTARA FOTO/Gusti Tanati/wpa/ama.Massa melakukan aksi di Jayapura, Senin (19/8/2019).ANTARA FOTO/Gusti Tanati/wpa/ama. Oleh: Andrian Pratama Taher - 20 Agustus 2019 Dibaca Normal 2 menit Polisi menyebut kerusuhan di Papua dipicu provokasi konten media sosial, padahal ulah rasisme itu memang nyata, sampai Gubernur Jawa Timur meminta maaf.
tirto.id - Situasi mencekam menyelimuti Manokwari, Senin (19/8/2019).Sejumlah jalan protokol diblokir mahasiswa dan masyarakat.Mereka protes karena tak terima dengan rasisme dan persekusi terhadap sejumlah mahasiswa asal Papua yang sedang belajar di Jawa Timur, Jumat (16/8/2018).
Wakil Gubernur Papua Barat Muhammad Lakotani menyebut, massa sempat membakar Gedung DPRD. Mereka juga merusak sejumlah fasilitas dan membuat lalu lintas di Manokwari jadi semerawut.
Massa cenderung beringas, sehingga kami tak bisa mendekat, Gedung DPRD provinsi sudah dibakar, kata Lakotani dalam program Breaking News KompasTV, Senin pagi. 
Lakotani mengaku pemerintah provinsi tak reaksioner menanggapi demonstrasi tersebut.Ia tahu, pangkal soal kemarahan warga bersumber dari tindakan diskriminatif nan rasis di Surabaya dan Malang. 
Kami mengimbau massa menahan diri, karena Insya Allah segalanya kita komunikasikan dengan baik, supaya tidak mengganggu aktivitas masyarakat dan pembangunan daerah, ucap dia.
Ia pun dijadwalkan bertemu massa bersama Kapolda Papua Barat Brigjen Herry Rudolf Nahak dan Pangdam Kasuari Joppye Onesimus Wayangkau. Pertemuan tersebut sempat diwarnai kericuhan sehingga Kapolda Papua Barat dan Pangdam Kasuari sempat dievakuasi. Sore hari, pertemuan dilanjut dan akhirnya massa membubarkan diri usai bertemu dengan wagub, pangdam, dan kapolda. 
Dibakar Massa di Jayapura Ikut Berdemo 
Selain di Manokwari, rasisme yang dilakukan sejumlah orang dan aparat keamanan Indonesia terhadap mahasiswa asal Papua di Surabaya dan Malang, juga bikin warga di Jayapura, Papua, jengah.Ratusan orang--mungkin ribuan orang--turun ke jalan.
Dikutip dari Antara, warga longmarch dari berbagai kawasan di sekitar Waena, Abepura, dan Kotaraja menuju Kantor Gubernur Papua yang berada di Dok 2 Jayapura.
Di depan kantor gubernur, warga menyampaikan aspirasi mereka yang merasa kecewa atas insiden yang terjadi di Surabaya. Akibat unjuk rasa ini, pertokoan yang berada di sekitar kantor gubernur, tutup. 
Anggota terus mengawal para pendemo, kata Kapolres Jayapura AKBP Gustav Urbinas kepada Antara.
Sementara itu, advokat dari Perkumpulan Advokasi Hak Asasi Manusia Papua, Gustaf Kawer yang ikut dalam demonstrasi itu menerangkan, unjuk rasa di Kantor Gubernur Papua ini bertujuan mengutuk tindakan persekusi dan diskriminasi ras terhadap mahasiswa Papua yang ada di Malang, Surabaya dan Semarang.
Meminta Pemerintah memberi jaminan keamanan dan perlindungan bagi mahasiswa yang kuliah di wilayah Jawa, meminta pemerintah mengambil tindakan tegas terhadap aparat TNI/Polri serta ormas reaksioner yang melakukan tindakan persekusi terhadap mahasiswa Papua, kata Gustaf Kawer kepada reporter Tirto.
Polisi Coba Salahkan Medsos, Tapi Dibantah Wiranto 
Saat kerusuhan masih berlangsung, Karopenmas Polri Brigjen Dedi Prasetyo memberikan keterangan pers kepada wartawan.Dalam pernyataannya, Dedi menyebut kerusuhan di Papua Barat dipicu provokasi penyebaran konten di sosial media.
Mereka cukup terprovokasi dengan yang disebar akun di sosmed, kata Dedi di Mabes Polri, Senin siang.
Ia tak menyebut kerusuhan tersebut dipicu ulah rasis aparat dan masyarakat di Surabaya. Menurutnya demo ini tak perlu terjadi karena kejadian di Surabaya sudah ditangani.
Karena itu, Dedi bilang Tim Siber Bareskrim akan melakukan profiling dan mengecek pemilik akun. Jika terbukti melanggar hukum, mereka akan ditindak, katanya. 
Yang terpenting masyarakat kami imbau tidak terprovokasi, tetap tenang dan bersama jaga situasi kondusif, imbuh Dedi.
Sementara itu, Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebut kerusuhan yang terjadi di Papua memang dipicu represi aparat terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang.Namun, Tito mencoba menghaluskan masalah dengan menyebut kerusuhan dipicu kesalahpahaman.
Kemarin ada kesalahpahaman, kemudian mungkin ada yang membuat kata-kata kurang nyaman, sehingga mungkin saudara kita terusik di Papua, ucap Tito di Surabaya, Senin siang.
Tito bahkan menyebut, masalah ini diperparah dengan kemunculan hoaks.Muncul hoaks mengenai ada kata-kata yang kurang etis, mungkin dari oknum tertentu, ucap dia. Menko Polhukam Wiranto menampik alasan yang dikemukakan Tito Karnavian dan anak-anak buahnya.Meski tak menyebut kerusuhan dipicu rasisme aparat, Wiranto mengaku kerusuhan itu dipicu pernyataan negatif sejumlah pihak--termasuk aparat dan masyarakat--usai insiden pelecehan bendera Merah Putih.
Pemerintah menyesalkan adanya insiden yang saat ini sedang berkembang tentang pelecehan Bendera Merah Putih di Jawa Timur yang disusul dengan berbagai pernyataan negatif oleh oknum-oknum yang memicu aksi di beberapa daerah terutama di Papua dan Papua Barat yang nyata-nyata mengganggu kebersamaan dan persatuan kita sebagai bangsa, kata Wiranto dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Polhukam, Senin siang.
Meski begitu, Wiranto tak menyebut dengan jelas siapa oknum yang dimaksud.Ia malah mengapresiasi langkah para kepala daerah dalam menyelesaikan kericuhan berkaitan dengan etnis Papua. 
Gubernur Jatim dan Walkot Surabaya Meminta Maaf
Sama seperti Wiranto, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa juga tampak membantah keterangan Tito.Khofifah yang malah meminta maaf atas ulah sejumlah pihak termasuk masyarakat Jawa Timur yang berbuat rasis terhadap mahasiswa Papua.
Menurut Khofifah, rasisme tersebut merupakan tindakan personal dan tidak mencerminkan sikap warga Jawa Timur. Atas nama komitmen berindonesia, mari kita tempatkan satu sama lain dengan saling menghormati dan menghargai. Saya tadi bertelepon dengan Gubernur Papua, meminta maaf karena sama sekali, kalau [ular rasis] itu bukan mewakili suara Jatim, kata Khofifah, Senin siang.
Pun demikian dengan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Ia juga meminta maaf atas tindakan sejumlah orang yang berbuat rasis terhadap mahasiswa di Asrama Papua. Meski begitu, ia menampik jika ada pengusiran terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. 
Kalau ada kesalahan kami mohon maaf, tapi tak benar kami mengusir, kata Risma, Senin siang.
Berdasarkan berita diatas rasisme merupakan pandangan terhadap ideologi atau paham yang dianut oleh masyarakat yang menolak atau tidak suka pada suatu golongan masyarakat tertentu yang biasanya berdasarkan rasnya, derajat, dan lain sebagainya.
PENYEBAB
Faktor Agama
Faktor agama adalah faktor yang paling mempengaruhi norma dan nilai, karena disetiap agama berbeda pandangan dan ibadahnya
Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan juga berperan dalam pembedaan nilai dan norma setiap daerah
Faktor Adat Istiadat
Adat istiadat adalah nilai yang tidak bersifat universal artinya tidak untuk setiap masyarakat menerima nilai tersebut, sehingga nilai antara suatu daerah dengan daerah lainnya berbeda-beda
Faktor Tradisi atau budaya
Budaya didalam suatu masyarakat berbeda-beda, begitupun nilai dan norma di dalam suatu masyarakat berbeda-beda, jadi hubungan antara budaya dan nilai yaitu suatu norma di dalam suatu masyarakat memiliki perbedaan masing-masing


Faktor Suku
Indonesia memiliki beragam suku diantaranya Jawa, Sunda, Betawi, Madura, Minang, dsb. Setiap suku memiliki nilai dan norma yang berbeda-beda
Pihak Terkait
Mahasiswa
Masyarakat
Pihak berwajib
Gubernur
Dampak
Dampak yang ditimbulkan akibat rasisme dapat dilihat dari dua sisi yaitu dari sisi ras yang diuntungkan dan ras yang dirugikan. Keuntungan-keuntungan yang diperoleh oleh ras yang berkuasa sifatnya dominan sedangkan pada ras yang didiskriminasi menimbulkan kerugtan yang sangat fatal baik darr segi mental maupun fisik
Solusi
mendorong Presiden agar segera mendesak Kapolri untuk mengusut dan mengungkap aktor intelektual terhadap pengrusakan tiang bendera dalam kasus penyerangan asrama Papua di Surabaya termasuk pelaku ucapan rasis.
mendesak Presiden agar segera menarik penambahan aparat TNI/Polri yang diterjunkan, serta menginstruksikan Menkominfo untuk membuka akses Internet di Papua dan Papua Barat.
mendesak Pemerintah untuk selalu mengedepankan cara dialog dalam menyelesaikan masalah di Papua.
mendesak Presiden menginstruksikan kepada seluruh kepala daerah dan aparat keamanan untuk menjamin keamanan dan kenyamanan mahasiswa Papua di seluruh Indonesia.
mendorong semua elemen bangsa untuk tetap menguatkan semangat persatuan nasional sesama anak bangsa
Pencegahan
Sebagai orang pendatang, hal pertama yang perlu dilakukan adalah pengamatan. Proses ini dapat dilakukan dengan interaksi langsung (muncul praktik komunikasi dua arah) ataupun dengan hanya ikut di kegiatan-kegiatan terbuka tanpa harus menjadi pihak yang "terlihat". Dari proses pengamatan inilah, kita yang bukan orang "pribumi" akan memperoleh bekal untuk beradaptasi.
Tidak terpaku pada komunitas ataupun orang-orang yang satu daerah asal. Contohnya adalah mengikuti orda ketika menjadi mahasiswa. Memang, cukup wajar bagi para pendatang (termasuk mahasiswa) ingin berada di tempat yang dikelilingi oleh orang-orang yang "sama". Namun, berada di lingkaran ini hanya akan membuat perpindahan kita ke tempat baru menjadi cukup sia-sia.
Tidak banyak bertingkah (negatif). Sebenarnya ini dapat dilakukan oleh perorangan atau kelompok. Namun, ketika kita sudah berada di zona nyaman bersama kelompok kita yang sama (sebagai pendatang) akan memiliki tingkat kepercayaan diri yang lebih tinggi dibandingkan ketika sendiri (terpisah dari kelompok/komunitas sedaerah).
Tidak membalas pelecehan (diskriminasi) ataupun rasisme dengan tindakan yang lebih menyakiti banyak pihak (secara general). Biasanya, rasisme itu lebih banyak dialami perorangan dibandingkan per kelompok. Kalaupun per kelompok, biasanya akan menghitung jumlahnya alias banyak-banyakan orangnya yang terlibat.
Memaafkan diri sendiri dan orang lain. Memang sangat sulit untuk memaafkan kesalahan orang lain, apalagi jika itu merupakan pelecehan dan rasisme. Namun, memaafkan orang lain akan dapat kita lakukan ketika kita sudah memaafkan diri sendiri.






















MAPPING KASUS









KESIMPULAN

Diferensiasi sosial merupakan pembedaan anggota masyarakat secara horizontal, artinya pembedaan ini masih memiliki derajat atau tingkatan yang sama.
Perilaku menyimpang merupakan hasil dari proses sosialisasi yang tidak sempurna dan penyebab lainnya antara lain sebab terjadinya perilaku menyimpang dari sudut pandang sosiologi, dari sudut pandang biologi, dari sudut pandang psikologi, dari sudut pandang kriminologi, perilaku dan subkebudayaan menyimpang.

DAFTAR PUSTAKA 



Burlian, P. (2016). Patologi Sosial. Jakarta: Bumi Aksara
https://blog.ruangguru.com/konsep-diferensiasi-sosial-pengertian-ciri-ciri-dan-jenis-jenis
https://www.sekolahan.co.id/pengertian-seni-rupa-unsur-fungsi-dan-macam-macam-seni-rupa/

  



DEFFERENSIASI SOSIAL

DEFFERENSIASI SOSIAL

 

Disusun Guna Memenuhi Paper
Mata Kuliah Patologi dan Rehabilitasi Sosial 
Dosen Pengampu RR. Dwi Astusi S.Psi, M.Psi

Disusun oleh :
Fina Ulya H. (201860027)
Loeby Galih W. (201860029)
Sri Endah L. (201860030)
Nuzulul Rizkia A. (201860043)
Lilik Rosyidah (201860052)
Nana Nurjannah (201860054)
Nabila Aulia F. (201860056)
Milkhatul Laila (201860062)

FAKULTAS PSIKOLOGI 
UNIVERSITAS MURIA KUDUS 
2019
PEMBAHASAN


Pengetian Diferemsiasi Sosial 
Diferensiasi sosial merupakan pembedaan anggota masyarakat secara horizontal, artinya pembedaan ini masih memiliki derajat atau tingkatan yang sama. Sebagai contoh, pembedaan masyarakat yang didasarkan pada perbedaan ras, etnis suku bangsa, agama, pekerjaan, dan jenis kelamin tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah antara satu dengan lainnya. 
Menurut Soerjono Soekanto, hal ini merupakan bentuk dari variasi pekerjaan, prestise, dan kekuasaan kelompok dalam masyarakat. Artinya, diferensiasi itu bisa menunjukkan keragaman yang dimiliki suatu bangsa. Contohnya saja di Indonesia, ada banyak keragaman yang sangat banyak dan bisa menjadi potensi dalam pembangunan baik dari suku, adat-istiadat, bahasa, budaya, agama, dan lain sebagainya. Sampai sini kita ketahui bahwa konsep ini lebih diartikan sebagai keberagaman yang bersifat horizontal, bukan sebagai pembeda kelas yang bersifat vertikal.
Proses Diferensiasi Dan Sosialisasi
Perilaku menyimpang merupakan hasil dari proses sosialisasi yang tidak sempurna. Dalam materi terdalulu, diselutkan bahwa nilai dan norma adalah suatu pedoman untuk mengatur perilaku manusia. Dalam internalisasi nilai dan norma ini, terjadi proses sosialisasi dalam diri seseorang. Ada seseorang yang mampu melakukan proses sosialisasi dengan baik dan ada pula yang tidak dapat melakukan proses sosialisasi dengan baik. Dengan demikian, pembentukan perilaku menyimpang merupakan suatu proses yang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang berikut.
Sebab Terjadinya Perilaku Menyimpang dari Sudut Pandang Sosiologi
Kehidupan bersama di dalam suatu kelompok masyarakat melahirkan kebudayaan yang berisi berbagai tujuan dan cara bersama yang diperkenankan untuk mencapai tujuan tersebut. Sebagai akibat proses sosialisasi, setiap individu belajar mengenali berbagai tujuan kebudayaannya. Selain itu, mereka juga mempelajari berbagai cara untuk mencapai tujuan yang selaras dengan kebudayaannya. Jika kesempatan untuk mencapai tujuan tersebut tidak tercapai, maka setiap individu mencari cara lain yang terkadang menimbulkan penyimpangan. Kemungkinan perilaku menyimpang pun semakin besar apabila tiap individu diberi kesempatan untuk memilih caranya sendiri. Bcrikut ini adalah pcnycbab dari perilaku menyimpang dalam sosiologi.
Perilaku Menyimpang karena Sosialisasi
Teori ini didasarkan pada pandangan bahwa dalam kehidupan masyarakat terdapat norma inti dan nilai-nilai tertentu yang disepakati oleh seluruh anggotanya. Teori ini menekankan bahwa perilaku sosial, baik yang bersifat menyimpang maupun tidak, dikendalikan oleh berbagai norma dan nilai yang dihayati nya. Perilaku menyimpang disebabkan oleh adanya gangguan pada proses penghayatan dan pengamalan nilai-nilai tersebut dalam perilaku seseorang. Pada umumnya, seseorang hanya menghayati berbagai nilai dan norma dari beberapa orang yang memiliki kesamaan dengan dirinya. Akibatnya, jika ia banyak menghayati nilai atau norma yang tidak berlaku secara umum, maka kecenderungan berperilaku menyimpang akan semakin besar. Terlebih jika sebagian besar teman di sekelilingnya merupakan orang yang memiliki perilaku menyimpang pula. Perilaku seseorang dapat menyimpang jika kadar penyimpangannya Iebih besar daripada kadar kewajaran perilakunya yang atau bersifat umum dan diterima masyarakat. Contohnya, jika seorang siswa bergaul dengan orang-orang yang berperilaku menyimpang seperti pecandu narkoba, maka perlahan lahan ia dapat mempelajari nilai dan norma tersebut, kemudian diserap dan dihayati dalam kepribadiannya yang dapat berakhir dengan perbuatan yang sama.
Perilaku Menyimpang karena Anomi (Anomic)
Menurut Durkheim (1897), sebagaimana dikutip Kun Maryati, anomi adalah suatu situasi tanpa norma dan tanpa arah sehingga tidak tercipta keselarasan antara kenyataan yang diharapkan dengan kenyataan sosial yang ada. Teori ini menyatakan bahwa penyimpangan dapat terjadi apabila dalam suatu masyarakat terdapat sejumlah kebudayaan khusus (etnis, agama, kebangsaan, kedaerahan, dan kelas sosial) yang dapat mengurangi kemungkinan timbulnya kesepakatan nilai (valkte cansensas). Dengan kata lain, anomi menggambarkan sebuah masyarakat yang memiliki banyak norma dan nilai, tetapi di antara norma dan nilai tersebut saling bertentangan. Akibatnya, timbul keadaan di mana tidak adanya seperangkat nilai atau norma yang dapat dipatuhi secara konsisten dan diterima secara luas. Masyarakat dengan tipe seperti itu tidak memiliki landasan yang kuat untuk dijadikan pedoman nilai dan penentu arah perilaku masyarakat.
Rohert K. Merton? menganggap hahwa anomi disebahkan oleh adanya ketidakharmonisan antara tujuan budaya dengan cara-cara yang dipakai untuk mencapai tujuan tersebut. Perilaku menyimpang dapat meluas, apabila banyak orang yang semula menempuh cara-cara pencapaian tujuan dengan wajar kemudian beralih pada cara-cara yang menyimpang. Teori ini sangat tepat untuk menganalisis banyaknya perilaku menyimpang, seperti KKN (karupsi, kolusi, dan nepotisme) yang dinyatakan sudah menjadi budaya di Indonesia. Untuk hal itu, terdapat lima cara pencapaian tujuan, mulai dari cara yang wajar hingga menyimpang sebagai berikut.
Konformitas, yaitu sikap menerima suatu tujuan budaya yang konvensional dengan cara yang selama ini biasa dilakukan (tradisional).
Inovasi, yaitu sikap seseorang untuk menerima secara kritis cara-cara pencapaian tujuan yang sesuai dengan nilai-nilai budaya sambil menempuh cara baru yang belum biasa dilakukan. Dalam inovasi upaya pencapaian tujuan tidak dilakukan dengan cara konvensional dan dilarang. Contohnya, seorang guru mengajar dengan cara yang membuat keributan kelas. Meskipun pada awalnya dianggap mengganggu, namun cara tersebut berhasil dalam meningkatkan semangat belajar siswa.
Ritualisme, yaitu sikap seseorang yang masih menjalankan cara-cara konvensional, namun melupakan tujuan kebudayaan yang sebenarnya. Cara-cara tersebut tetap dilakukan, tetapi fungsi dan maknanya telah hilang dan orang yang melakukannya sekadar memenuhi kewajiban. Contohnya, banyak siswa yang tertib mengikuti upacara bendera hanya sekadar untuk mengikuti peraturan sekolah dan bukan untuk semangat nasionalisme.
Pengasingan, yaitu sikap menolak seseorang, baik tujuan maupun cara-cara mencapai tujuan, yang telah menjadi bagian kehidupan masyarakat ataupun lingkungan sosialnya. Contohnya, seorang karyawan mengundurkan diri dari perusahaan karena konflik kepentingan pribadi atau kepentingan perusahaan.
Pemberontakan, yaitu sikap seseorang dalam menolak sarana dan tujuan-tujuan yang disahkan oleh budaya masyarakatrya dan menggantinya dengan cara yang baru. Contohnya, kaum revolusioner yang dengan gigih memperjuangkan suatu ideologi melalui perlawanan bersenjata.
Perilaku Menyimpang karena Hubungan Diferensiasi
Penyimpangan dapat terjadi jika dipelajari terlebih dahulu. Proses belajar ini terjadi akibat interaksi sosial antara seseorang dengan orang lain. Derajat interaksi bergantung pada frekuensi, prioritas, dan intensitasnya. Semakin tinggi derajat ketiga faktor ini, maka semakin tinggi pula kemungkinan bagi mereka untuk menerapkan tingkah laku yang sama-sama dianggap menyimpang. Contahnya, seseorang yang ingin berprofesi sebagai perampok karena terdesak kebutuhan hidup dan ingin cepat kaya dengan cara yang singkat, kemudian ia berusaha mempelajari cara-cara merampok dari temannya yang terlebih dahulu menjadi perampok. Setelah mengetahui cara caranya, ia akan menjadi perampok mengikuti temannya tersebut.
Perilaku Menyimpang karena Pemberian Julukan (Labelling)
Perilaku menyimpang lahir karena adanya cap, julukan, atau sebutan atas suatu perbuatan yang disebut menyimpang. Dengan memberikan julukan pada suatu perilaku sebagai perilaku menyimpang, berarti kita menciptakan serangkaian perilaku yang cenderung mendorong orang untuk melakukan penyimpangan. Jadi, ketika kita memberi cap terhadap seseorang sebagai orang yang menyimpang, julukan tersebut akan mendorong orang tersebut berperilaku menyimpang.
Teori ini menggambarkan bagaimana suatu perilaku menyimpang sering kali menimbulkan serangkaian peristiwa yang justru mempertegas dan meningkatkan tindakan penyimpangan. Pada kenyataannya, dalam keadaan tertentu pemberian julukan dapat mendorong timbulnya penyimpangan yang berikutnya. Dalam keadaan tertentu lainnya, pemberian julukan akan mendorang kembalinya orang yang menyimpang ke perilaku yang normal. Contohnya, seorang siswa yang tertangkap basah menyontek ketika ujian nasional (UN), kemudian semua siswa di kelas itu memberi julukan pada dirinya "si tukang nyontek", meskipun ia baru sekali melakukan perbuatan itu. Karena telah diberi julukan seperti itu, maka siswa tersebut terus-menerus karena sebagian besar siswa sudah berpandangan negatif terhadap dirinya.
Sebab Terjadinya Perilaku Menyimpang dari Sudut Pandang Biologi
Mayoritas ilmuwan abad ke-19 berpandangan bahwa sebagian besar perilaku menyimpang disebabkan oleh faktor-faktor biologis, seperti tipe sel-sel tubuh. Salah satunya adalah pandangan dari seorang ahli bernama Caesare Lombroso. Ia berpendapat bahwa orang jahat dicirikan dengan ukuran rahang dan tulang-tulang pipi yang panjang, adanya kehinan pada mata yang khas, jari-jari kaki dan tangan vang relatif besar, serta susunan gigi yang tidak normal. Adanya pandangan dari sudut biologi ini telah menimbulkan keraguan dari para ahli ilmu sosial. Meskipun ditunjang oleh berbagai bukti empiris, para kritikus menemukan sejumlah kesalahan metode penelitian sehingga menimbulkan keraguan terhadap kebenaran teori tersebut. Para ilmuwan lainnya menganggap faktor hialogis sebagai faktor yang secara relatif tidak penting pengaruhnya terhadap penyimpangan perilaku.
Sebab Terjadinya Perilaku Menyimpang dari Sudut Pandang Psikologi
Teori ini berpandangan bahwa penyakit mental dan gangguan kepribadian berkaitan erat dengan beberapa bentuk perilaku menyimpang karena perikaku menyimpang sering kali dianggap sebagai suatu gejala penyakit mental. Akan tetapi, teori psikologis tidak dapat memberikan banyak bantuan untuk menjelaskan penyebab perilaku menyimpang. Ilmuwan yang terkenal di bidang ini ialah Sigmund Freud. Dia membagi diri manusia menjadi tiga bagian penting berikut.
Id, yaitu bagian ciri yang bersifat tidak sadar, naluriah, dan impulsif (mudah terpengaruh oleh gerak hati).
Ego, yaitu bagian diri yang bersifat sadar dan rasional (penjaga pintu kepribadian).
Super Ego, yaitu bagian diri yang telah menyerap nilai-nilai kultural dan berfungsi sebagai suara hati.
Menurut Freud, perilaku menyimpang terjadi apabila Id yang berlebilian (tidak terkontrol) muncul bersamaan dengan Superego yang tidak aktif. Sementara dalam waktu yang bersamaan, Ego yang seharusnya dominan tidak berhasil memberikan perimbangan.
Sebab Terjadinya Perilaku Menyimpang dari Sudut Pandang Kriminologi
Dalam hal ini perilaku menyimpang dapat dilihat dari teori konflik dan teori pengendalian. Dalam teori ini terdapat dua macam konflik sebagai berikut.
Konflik budaya, konflik budaya terjadi apabila dalam suatu masyarakat terdapat sejumlah kebudayaan khusus yang masing-masing cenderung tertutup sehingga mengurangi kemungkinan timbulnya kesepakatan nilai. Setiap kelompok menjadikan norma budayanya sebagai peraturan resmi. Akibatnya, orang yang menganut budaya berbeda dianggap sebagai penyimpang, Berbagai norma yang saling bertentangan dan bersumber dari kebudayaan khusus yang berbeda itu akan menciptakan kondisi anomi. Pada masyarakat seperti ini, kelas bawah harus bertentangan (berkonflik) dengan kelas menengah, hanya karena mereka dipaksa untuk meninggalkan kebudayaan yang telah mereka anut sebelumnya.
Konflik kelas sosial terjadi akibat suatu kelompok menciptakan peraturan sendiri untuk melindungi kepentingannya. Pada kondisi ini terjadi eksploitasi kelas atas terhadap kelas bawah. Mereka yang menentang hak-hak istimewa kelas atas dianggap mempunyai perilaku menyimpang sehingga dicap sebagai penjahat. 
Dilihat dari teori pengendalian, kebanyakan orang menyesuai kan diri dengan nilai dominan karena adanya pengendalian dari dalam ataupun dari luar. Pengendalian dari dalam berupa norma yang dihayati dan nilai yang dipelajari sesecrang. Sedangkan pengendalian dari luar berupa imbalan sosial terhadap konformitas (tindakan mengikuti warna), dan sanksi hukuman terhadap tindakan penyimpangan. Dalam masyarakat konvensional, terdapat empat hal yang mengikat individu terhadap norma masyarakatnya, yaitu 
Kepercayaan, mengacu pada norma yang dihayati
Ketanggapan, yakni sikap tanggap seseorang terhacap pendapat orang lain, berupa sejauh mana kepekaan seseorang terhadap kadar penerimaan orang konformis
Keterikatan (komitmen), berhubungan dengan berapa banyak imbalan yang diterima seseorang atas perilakunya yang konformis
keterlibatan, mengacu pada kegiatan seseorang dalam berbagai lembaga masyarakat, seperti majelis ta'lim, sekolah, dan organisasi setempat.
Semakin tınggi tingkat kesadaran seseorang akan salah satu pengikat tersebut, semakin kecil pula kemungkinan baginya untuk melakukan penyimpangan.
Perilaku dan Subkebudayaan Menyimpang
Pergaulan seseorang yang sedang tumbuh dewasa, pada umumnya tidak terlepas dari peniruan (imitasi) terhadap orang lain yang diidolakannya. Akan tetapi, peniruan tersebut kadang bersifat negatif. Hal yang ditiru adalah budaya Barat, seperti dari Eropa atau Amerika yang dianggapnya mewakili dunia modern. Hal ini disebut Westernisasi. Berperilaku seperti akan membuat dirinya merasa modern. Padahal tidak demikian, karena yang ditiru sebagian besar bukan ilmu pengetahuan atau keterampilannya, melainkan pola, sikap, perilaku, kebiasaan, dan lain-lain yang biasa dilibat dari televisi, film, atau gaya kelompok pemain musik yang menjadi panutannya.
Westernisasi, yang di dalamnya terdapat kata west yang berarti barat, bukan berarti mengambil kebudayaan dari Barat berupa ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa berperilaku seperti orang Barat, melainkan berperilaku dan bertindak seperti orang Barat yang dianggapnya modern dengan melupakan budaya sendiri. Westernisasi berarti peniruan seperti orang Barat, misalnya: 
Meniru secara berlebihan gaya pakaian (mode) yang selalu mengalami perubahan dengan cepat
Meniru gaya bicara dan adat sopan santun pergaulan Barat
Sikap merendahkan bahasa daerah dan bahasa Indonesia dengan mencampuradukkan istilah dan ungkapan orang Barat ke dalam balasa Indanesia, walaupun lawan yang diajak bicara tidak memahaminya
Meniru pesta-pesta yang dilakukan orang Barat, seperti pesta ulang tahun atau malam tahun baru yang disertai dengan minum-minuman keras
Tidak melewatkan pergi ke disko untuk setiap saat di malam minggu atau malam liburan
Uraian tersebut memberikan penjelasan pada kita bahwa struktur kepribadian itu bisa diterobos oleh perangsang sosial (pengaruh sosial) yang sangat kuat sehingga berlangsung proses perubahan diri yang dipercepat. Tidak jarang perubahan secara drastis dan radikal itu disertai dengan krisis-krisis jiwa yang akut. Krisis jiwa atau trauma psikis itu mempercepat proses tranformasi tingkah laku normal menjadi perilaku deviasi atau perilaku penyimpangan. 
Penyerapan pola-pola abnormal secara tidak sadar itu menyebabkan proses persepsi diri dan pendefinisian diri. Persepsi diri berarti menerima keadaan atau nasib sendiri. Pendefinisian diri berarti memastikan diri untuk melakukan peranan tertentu, yang erat kaitannya dengan persepsi diri (penerimaan diri), dan segera diikuti dengan praktik-praktik langsung. Inilah yang disebut dengan proses individuasi. Selanjutnya, pendefinisian diri tcrsebut merupakan titik kritis kualitas kepribadian. Inilah yang disebut sebagai limitasi subjektif. Sementara itu, pengaruh pengaruh eksternal dari lingkungan sosial disebut sebagai faktor limitasi eksternal.

Kasus
Rusuh di Papua Barat karena Rasisme, 
Bukan yang Lain


Massa melakukan aksi di Jayapura, Senin (19/8/2019).ANTARA FOTO/Gusti Tanati/wpa/ama.Massa melakukan aksi di Jayapura, Senin (19/8/2019).ANTARA FOTO/Gusti Tanati/wpa/ama. Oleh: Andrian Pratama Taher - 20 Agustus 2019 Dibaca Normal 2 menit Polisi menyebut kerusuhan di Papua dipicu provokasi konten media sosial, padahal ulah rasisme itu memang nyata, sampai Gubernur Jawa Timur meminta maaf.
tirto.id - Situasi mencekam menyelimuti Manokwari, Senin (19/8/2019).Sejumlah jalan protokol diblokir mahasiswa dan masyarakat.Mereka protes karena tak terima dengan rasisme dan persekusi terhadap sejumlah mahasiswa asal Papua yang sedang belajar di Jawa Timur, Jumat (16/8/2018).
Wakil Gubernur Papua Barat Muhammad Lakotani menyebut, massa sempat membakar Gedung DPRD. Mereka juga merusak sejumlah fasilitas dan membuat lalu lintas di Manokwari jadi semerawut.
Massa cenderung beringas, sehingga kami tak bisa mendekat, Gedung DPRD provinsi sudah dibakar, kata Lakotani dalam program Breaking News KompasTV, Senin pagi. 
Lakotani mengaku pemerintah provinsi tak reaksioner menanggapi demonstrasi tersebut.Ia tahu, pangkal soal kemarahan warga bersumber dari tindakan diskriminatif nan rasis di Surabaya dan Malang. 
Kami mengimbau massa menahan diri, karena Insya Allah segalanya kita komunikasikan dengan baik, supaya tidak mengganggu aktivitas masyarakat dan pembangunan daerah, ucap dia.
Ia pun dijadwalkan bertemu massa bersama Kapolda Papua Barat Brigjen Herry Rudolf Nahak dan Pangdam Kasuari Joppye Onesimus Wayangkau. Pertemuan tersebut sempat diwarnai kericuhan sehingga Kapolda Papua Barat dan Pangdam Kasuari sempat dievakuasi. Sore hari, pertemuan dilanjut dan akhirnya massa membubarkan diri usai bertemu dengan wagub, pangdam, dan kapolda. 
Dibakar Massa di Jayapura Ikut Berdemo 
Selain di Manokwari, rasisme yang dilakukan sejumlah orang dan aparat keamanan Indonesia terhadap mahasiswa asal Papua di Surabaya dan Malang, juga bikin warga di Jayapura, Papua, jengah.Ratusan orang--mungkin ribuan orang--turun ke jalan.
Dikutip dari Antara, warga longmarch dari berbagai kawasan di sekitar Waena, Abepura, dan Kotaraja menuju Kantor Gubernur Papua yang berada di Dok 2 Jayapura.
Di depan kantor gubernur, warga menyampaikan aspirasi mereka yang merasa kecewa atas insiden yang terjadi di Surabaya. Akibat unjuk rasa ini, pertokoan yang berada di sekitar kantor gubernur, tutup. 
Anggota terus mengawal para pendemo, kata Kapolres Jayapura AKBP Gustav Urbinas kepada Antara.
Sementara itu, advokat dari Perkumpulan Advokasi Hak Asasi Manusia Papua, Gustaf Kawer yang ikut dalam demonstrasi itu menerangkan, unjuk rasa di Kantor Gubernur Papua ini bertujuan mengutuk tindakan persekusi dan diskriminasi ras terhadap mahasiswa Papua yang ada di Malang, Surabaya dan Semarang.
Meminta Pemerintah memberi jaminan keamanan dan perlindungan bagi mahasiswa yang kuliah di wilayah Jawa, meminta pemerintah mengambil tindakan tegas terhadap aparat TNI/Polri serta ormas reaksioner yang melakukan tindakan persekusi terhadap mahasiswa Papua, kata Gustaf Kawer kepada reporter Tirto.
Polisi Coba Salahkan Medsos, Tapi Dibantah Wiranto 
Saat kerusuhan masih berlangsung, Karopenmas Polri Brigjen Dedi Prasetyo memberikan keterangan pers kepada wartawan.Dalam pernyataannya, Dedi menyebut kerusuhan di Papua Barat dipicu provokasi penyebaran konten di sosial media.
Mereka cukup terprovokasi dengan yang disebar akun di sosmed, kata Dedi di Mabes Polri, Senin siang.
Ia tak menyebut kerusuhan tersebut dipicu ulah rasis aparat dan masyarakat di Surabaya. Menurutnya demo ini tak perlu terjadi karena kejadian di Surabaya sudah ditangani.
Karena itu, Dedi bilang Tim Siber Bareskrim akan melakukan profiling dan mengecek pemilik akun. Jika terbukti melanggar hukum, mereka akan ditindak, katanya. 
Yang terpenting masyarakat kami imbau tidak terprovokasi, tetap tenang dan bersama jaga situasi kondusif, imbuh Dedi.
Sementara itu, Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebut kerusuhan yang terjadi di Papua memang dipicu represi aparat terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang.Namun, Tito mencoba menghaluskan masalah dengan menyebut kerusuhan dipicu kesalahpahaman.
Kemarin ada kesalahpahaman, kemudian mungkin ada yang membuat kata-kata kurang nyaman, sehingga mungkin saudara kita terusik di Papua, ucap Tito di Surabaya, Senin siang.
Tito bahkan menyebut, masalah ini diperparah dengan kemunculan hoaks.Muncul hoaks mengenai ada kata-kata yang kurang etis, mungkin dari oknum tertentu, ucap dia. Menko Polhukam Wiranto menampik alasan yang dikemukakan Tito Karnavian dan anak-anak buahnya.Meski tak menyebut kerusuhan dipicu rasisme aparat, Wiranto mengaku kerusuhan itu dipicu pernyataan negatif sejumlah pihak--termasuk aparat dan masyarakat--usai insiden pelecehan bendera Merah Putih.
Pemerintah menyesalkan adanya insiden yang saat ini sedang berkembang tentang pelecehan Bendera Merah Putih di Jawa Timur yang disusul dengan berbagai pernyataan negatif oleh oknum-oknum yang memicu aksi di beberapa daerah terutama di Papua dan Papua Barat yang nyata-nyata mengganggu kebersamaan dan persatuan kita sebagai bangsa, kata Wiranto dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Polhukam, Senin siang.
Meski begitu, Wiranto tak menyebut dengan jelas siapa oknum yang dimaksud.Ia malah mengapresiasi langkah para kepala daerah dalam menyelesaikan kericuhan berkaitan dengan etnis Papua. 
Gubernur Jatim dan Walkot Surabaya Meminta Maaf
Sama seperti Wiranto, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa juga tampak membantah keterangan Tito.Khofifah yang malah meminta maaf atas ulah sejumlah pihak termasuk masyarakat Jawa Timur yang berbuat rasis terhadap mahasiswa Papua.
Menurut Khofifah, rasisme tersebut merupakan tindakan personal dan tidak mencerminkan sikap warga Jawa Timur. Atas nama komitmen berindonesia, mari kita tempatkan satu sama lain dengan saling menghormati dan menghargai. Saya tadi bertelepon dengan Gubernur Papua, meminta maaf karena sama sekali, kalau [ular rasis] itu bukan mewakili suara Jatim, kata Khofifah, Senin siang.
Pun demikian dengan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Ia juga meminta maaf atas tindakan sejumlah orang yang berbuat rasis terhadap mahasiswa di Asrama Papua. Meski begitu, ia menampik jika ada pengusiran terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. 
Kalau ada kesalahan kami mohon maaf, tapi tak benar kami mengusir, kata Risma, Senin siang.
Berdasarkan berita diatas rasisme merupakan pandangan terhadap ideologi atau paham yang dianut oleh masyarakat yang menolak atau tidak suka pada suatu golongan masyarakat tertentu yang biasanya berdasarkan rasnya, derajat, dan lain sebagainya.
PENYEBAB
Faktor Agama
Faktor agama adalah faktor yang paling mempengaruhi norma dan nilai, karena disetiap agama berbeda pandangan dan ibadahnya
Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan juga berperan dalam pembedaan nilai dan norma setiap daerah
Faktor Adat Istiadat
Adat istiadat adalah nilai yang tidak bersifat universal artinya tidak untuk setiap masyarakat menerima nilai tersebut, sehingga nilai antara suatu daerah dengan daerah lainnya berbeda-beda
Faktor Tradisi atau budaya
Budaya didalam suatu masyarakat berbeda-beda, begitupun nilai dan norma di dalam suatu masyarakat berbeda-beda, jadi hubungan antara budaya dan nilai yaitu suatu norma di dalam suatu masyarakat memiliki perbedaan masing-masing


Faktor Suku
Indonesia memiliki beragam suku diantaranya Jawa, Sunda, Betawi, Madura, Minang, dsb. Setiap suku memiliki nilai dan norma yang berbeda-beda
Pihak Terkait
Mahasiswa
Masyarakat
Pihak berwajib
Gubernur
Dampak
Dampak yang ditimbulkan akibat rasisme dapat dilihat dari dua sisi yaitu dari sisi ras yang diuntungkan dan ras yang dirugikan. Keuntungan-keuntungan yang diperoleh oleh ras yang berkuasa sifatnya dominan sedangkan pada ras yang didiskriminasi menimbulkan kerugtan yang sangat fatal baik darr segi mental maupun fisik
Solusi
mendorong Presiden agar segera mendesak Kapolri untuk mengusut dan mengungkap aktor intelektual terhadap pengrusakan tiang bendera dalam kasus penyerangan asrama Papua di Surabaya termasuk pelaku ucapan rasis.
mendesak Presiden agar segera menarik penambahan aparat TNI/Polri yang diterjunkan, serta menginstruksikan Menkominfo untuk membuka akses Internet di Papua dan Papua Barat.
mendesak Pemerintah untuk selalu mengedepankan cara dialog dalam menyelesaikan masalah di Papua.
mendesak Presiden menginstruksikan kepada seluruh kepala daerah dan aparat keamanan untuk menjamin keamanan dan kenyamanan mahasiswa Papua di seluruh Indonesia.
mendorong semua elemen bangsa untuk tetap menguatkan semangat persatuan nasional sesama anak bangsa
Pencegahan
Sebagai orang pendatang, hal pertama yang perlu dilakukan adalah pengamatan. Proses ini dapat dilakukan dengan interaksi langsung (muncul praktik komunikasi dua arah) ataupun dengan hanya ikut di kegiatan-kegiatan terbuka tanpa harus menjadi pihak yang "terlihat". Dari proses pengamatan inilah, kita yang bukan orang "pribumi" akan memperoleh bekal untuk beradaptasi.
Tidak terpaku pada komunitas ataupun orang-orang yang satu daerah asal. Contohnya adalah mengikuti orda ketika menjadi mahasiswa. Memang, cukup wajar bagi para pendatang (termasuk mahasiswa) ingin berada di tempat yang dikelilingi oleh orang-orang yang "sama". Namun, berada di lingkaran ini hanya akan membuat perpindahan kita ke tempat baru menjadi cukup sia-sia.
Tidak banyak bertingkah (negatif). Sebenarnya ini dapat dilakukan oleh perorangan atau kelompok. Namun, ketika kita sudah berada di zona nyaman bersama kelompok kita yang sama (sebagai pendatang) akan memiliki tingkat kepercayaan diri yang lebih tinggi dibandingkan ketika sendiri (terpisah dari kelompok/komunitas sedaerah).
Tidak membalas pelecehan (diskriminasi) ataupun rasisme dengan tindakan yang lebih menyakiti banyak pihak (secara general). Biasanya, rasisme itu lebih banyak dialami perorangan dibandingkan per kelompok. Kalaupun per kelompok, biasanya akan menghitung jumlahnya alias banyak-banyakan orangnya yang terlibat.
Memaafkan diri sendiri dan orang lain. Memang sangat sulit untuk memaafkan kesalahan orang lain, apalagi jika itu merupakan pelecehan dan rasisme. Namun, memaafkan orang lain akan dapat kita lakukan ketika kita sudah memaafkan diri sendiri.






















MAPPING KASUS









KESIMPULAN

Diferensiasi sosial merupakan pembedaan anggota masyarakat secara horizontal, artinya pembedaan ini masih memiliki derajat atau tingkatan yang sama.
Perilaku menyimpang merupakan hasil dari proses sosialisasi yang tidak sempurna dan penyebab lainnya antara lain sebab terjadinya perilaku menyimpang dari sudut pandang sosiologi, dari sudut pandang biologi, dari sudut pandang psikologi, dari sudut pandang kriminologi, perilaku dan subkebudayaan menyimpang.

DAFTAR PUSTAKA 



Burlian, P. (2016). Patologi Sosial. Jakarta: Bumi Aksara
https://blog.ruangguru.com/konsep-diferensiasi-sosial-pengertian-ciri-ciri-dan-jenis-jenis
https://www.sekolahan.co.id/pengertian-seni-rupa-unsur-fungsi-dan-macam-macam-seni-rupa/

  



Show comments
Hide comments

No comments

Harap berkomentarlah sesuai dengan tema